100KPJ

Benarkah Motor Bebek Tergerus oleh Tren Skuter Matic? Ini Fakta dan Alasannya!

Share :

100kpj – Pada awal tahun 2000-an, motor bebek adalah raja jalanan.

Model-model legendaris seperti Honda Supra, Yamaha Jupiter, dan Suzuki Smash menjadi pemandangan sehari-hari yang tak terhindarkan.

Data Asosiasi Industri Sepeda Motor Indonesia (AISI) menunjukkan betapa kuatnya cengkeraman motor bebek. Antara tahun 2005 hingga 2010, segmen ini menguasai 40-50% pangsa pasar domestik, sementara motor matic hanya mampu meraih 20%.

Namun, dominasi ini mulai goyah sejak kemunculan Yamaha Mio dan Nouvo pada tahun 2004.

Meskipun demikian, motor bebek tidak langsung menyerah. Bahkan pada tahun 2012, segmen ini masih menguasai 30% pangsa pasar nasional—pencapaian puncak terakhirnya.

Sejak saat itu, angka tersebut terus merosot drastis. Penurunan yang signifikan terjadi pada tahun 2013 (22,8%), 2014 (18,7%), dan 2015 (13,2%), dan terus berlanjut hingga kini.

Data terbaru dari kuartal pertama tahun 2025 menunjukkan kondisi yang semakin mengkhawatirkan: motor bebek hanya menyumbang 3,37% dari total penjualan motor domestik.

Angka ini menjadi bukti nyata bahwa motor matic telah mengambil alih pasar secara total, dengan kontribusi lebih dari 90% penjualan nasional sejak 2023.

Pergeseran ini bukan tanpa alasan. Tren motor matic yang menawarkan kemudahan dan kepraktisan menjadi daya tarik utama bagi konsumen.

Produsen pun merespons tren ini dengan serius. Di masa lalu, katalog pabrikan dipenuhi dengan beragam model motor bebek. Kini, pilihannya sangat terbatas.

Yamaha, misalnya, hanya menyisakan tiga model bebek: MX King 150, Jupiter Z1, dan Vega Force. Mirisnya, ketiga model tersebut tidak mendapatkan pembaruan signifikan, seolah hanya "menghabiskan stok."

Kondisi serupa terjadi pada Honda yang juga hanya menjual tiga model bebek.

Selain karena tren, faktor harga menjadi penyebab utama lainnya.

Di era 2000-an, motor bebek adalah pilihan termurah. Namun, kini motor matic menawarkan harga yang lebih kompetitif.

Honda Beat, misalnya, dijual seharga Rp18-19 juta, lebih terjangkau dibandingkan Honda Supra X yang berada di kisaran Rp21 juta.

Sensitivitas pasar Indonesia terhadap harga membuat konsumen lebih memilih motor matic yang lebih praktis dan ekonomis.

Tak hanya itu, ekosistem pendukung juga ikut meredup. Dulu, suku cadang modifikasi untuk motor bebek melimpah ruah.

Saat ini, ketersediaannya sangat terbatas, berbeda jauh dengan motor matic yang memiliki pasar modifikasi yang sangat luas.

Bahkan, dukungan produsen oli yang dulu memiliki varian spesifik untuk motor bebek kini semakin minim.

Meskipun dalam kondisi "sekarat," motor bebek belum sepenuhnya mati.

Di beberapa daerah pedesaan dan segmen pekerja, motor bebek masih menjadi andalan karena ketangguhan dan kemudahan perawatannya.

Namun, pasar motor bebek tampaknya hanya mampu bertahan, bukan lagi berkembang.

Dengan pangsa pasar di bawah 4%, pilihan model yang minim, dan dukungan produsen yang terus meredup, masa depan motor bebek di Indonesia seolah berada di ujung tanduk.

Pasar ini seperti menunggu kejutan terakhir sebelum akhirnya benar-benar punah.*

Share :
Berita Terkait