100KPJ

Kaleidoskop 2022: Polisi Setop Tilang Manual, Tilang Elektronik Sudah Maksimal?

Share :

100kpj – Pada tahun 2022, Kapolri Jenderal Listyo Sigit Prabowo memberikan aturan yang cukup mengejutkan. Di mana, seluruh jajaran Korps Lalu Lintas Polri, untuk tidak menggelar operasi penindakan tilang pengendara secara manual.

Hal itu sebagai tindak lanjut arahan Presiden Joko Widodo kepada jajaran Polri, pada 14 Oktober 2022 lalu. Instruksi tersebut tertuang dalam surat telegram Nomor ST/2264/X/HUM.3.4.5./2022, yang diterbitkan pada 18 Oktober 2022.

Dalam telegram tersebut, polisi lalu lintas diminta untuk mengedepankan atau memaksimalkan penindakan melalui tilang elektronik alias ETLE, baik statis maupun mobile. Walau begitu, tak sepenuhnya polisi hentikan tilang manual.

Hal tersebut bisa dilakukan apabila petugas menemukan pelanggaran lalin yang berpotensi kecelakaan fatalitas atau terindikasi pidana. Seperti memakai pelat nomor palsu, atau tanpa memakai pelat nomor polisi di motornya.

"Tentunya dengan fenomena ini kan akan terjadi lagi perilaku di masyarakat. Dalam artian mereka sudah memulai bagaimana biar tidak terkena e-TLE, seperti yang dia asal nempel (pelat) dan ini kan namanya pemalsuan," ujar Dirlantas Polda Metro Jaya Kombes Latif Usman.

"Nah ini yang pidana. Ini yang bisa kita lakukan penilangan secara manual. Ada yang melepas pelat nomor ya bisa kita periksa, bisa kita tilang. Jadi kami menilang akhirnya yang mengarah ke tindak pidana."

"Yang ditilang secara manual yang jelas bisa mengakibatkan potensi laka lantas, ini bisa ditilang. Polisi masih bisa melakukan penindakan. Kalau masih sewajarnya akan dilakukan penindakan edukasi, teguran. Tapi kalau sudah mengarah ke pidana, mengarah ke potensi laka lantas, itu bisa kita tilang (manual)," paparnya.

Pelanggar Makin Berani

Dihilangkannya tilang manual oleh petugas kepolisian, ternyata di satu sisi malah memunculkan fenomena yang kurang baik. Di mana, pengendara malah makin berani melanggar aturan lalu lintas, walau ada petugas polisi.

"Fenomena yang terjadi saat ini sejak tidak diberlakukannya tilang manual (adalah) pengguna jalan khususnya berani melanggar walaupun ada petugas," kata Kasi Kecelakaan Lalulintas (Laka Lantas) Ditlantas Polda Metro Jaya, Kompol Edy Purwanto, dikutip dari Antara.

"Jadi mereka tahu, ah paling hanya ditegur, paling hanya diberi tahu sehingga, ya, mohon maaf polisi pun di situ tidak dianggap. Masih adanya budaya tertib kalau ada petugas. Jadi kalau ada petugas tertib, kalau tidak ada petugas seenaknya sendiri," tambahnya.

Lebih lanjut, dia juga menilai ada kelemahan dari sistem tilang ini. Jenis pelanggaran yang saat ini belum bisa terdektesi oleh para petugas kepolisian, antara lain pengendara tak membawa atau memiliki kelengkapan surat-surat.

"Pelanggaran tidak punya SIM, tidak membawa SIM atau STNK, tentu hal itu tidak terekam dan tidak bisa diambil tindakan pelanggaran lalu lintas oleh ETLE," ujarnya.

ETLE yang diberlakukan demi terciptanya budaya tertib dinilai sudah baik, tetapi dengan adanya perkembangan teknologi di bidang penegakan hukum lalu lintas masih dinilai harus ada perpaduan antara teknologi dengan petugas di lapangan.

Seperti disampaikan oleh Pakar Hukum Pidana dari Universitas Gajah Mada, Prof. Dr. Nurhasan Ismail, S.H. M.Si.. yang menghadiri Rakernis Fungsi Gakkum di Hotel Singhasari, Kota Batu, Jawa Timur.

“Jadi kalau kita belajar dari sepakbola, kita nonton bola saat ini, itu pasti perpaduan dari peranan manusia dengan peranan teknologi. Sepakbola saat ini tidak bisa dihindari adanya perpaduan dalam penegak hukum, wasit dan teknologi,” ucap Nurhasan, dikutip dari situs Korlantas, Sabtu 3 Desember 2022.

Nurhasan menambahkan bahwa tidak bisa sepenuhnya menyerahkan pada teknologi seperti cctv. Sebab, ada pelanggaran-pelanggaran tertentu yang sifatnya administratif, salah satunya pengendara yang tidak memiliki SIM akan ketahuan dengan teknologi.

“Termasuk misalnya pengendara mabuk itu tidak bisa dideteksi melalui cctv. Jadi menurut saya dalam penegakan hukum ini memadukan dua instrumen, yakni ETLE dan Manual. Jadi menurut saya ini yang harus dilakukan,” katanya.

Nurhasan menjelaskan bahwa peran polisi lalu lintas di jalan masih tidak bisa digantikan. Ada pelanggaran-pelanggaran tertentu yang harus ada penanganan petugas kepolisian langsung.

Jadi Gakkum ini pada Prinsipnya membangun kepatuhan masyarakat dalam berlalu lintas. Dengan patuh itu supaya keteraturan di jalan bisa terjamin, untuk itu peranan teknologi dan polantas itu sungguh-sungguh harus diintensifkan.

Lingkup ETLE Masih Kecil

Dirgakkum Korlantas Polri Brigjen Pol Aan Suhanan, mengatakan bila saat ini banyak petugas polisi yang seperti kehilangan kepercayaan diri. Bahkan, ada polisi yang tak berani turun ke lapangan.

“Banyak fenomena yang terlihat, di internal Polri ada yang kurang percaya diri, ada yang tidak berani turun ke lapangan. Ini karena kurangnya memahami, sesungguhnya penegakan hukum tidak hanya tilang, ada patroli dan gatur,” kata Brigjen Pol Aan Suhanan di Korlantas Polri Jalan M.T Haryono, dilansir dari NTMC Polri, Minggu 18 Desember 2022.

Korlantas Polri baru menggelar rapat Anev kebijakan larangan tilang manual. Rapat dipimpin langsung oleh Dirgakkum Korlantas Polri Brigjen Pol Aan Suhanan turut dihadiri pakar transportasi dari Universitas Indonesia Prof. Tri Tjahjono, ketua INSTRAN Ki Darmaningtyas serta perwakilan sejumlah Ditlantas Polda.

Dalam arahannya Brigjen Pol Aan Suhanan mengatakan rapat yang digelar untuk mengevaluasi ST Kapolri Nomor 2264 tahun 2022 terkait memaksimalkan ETLE dan tidak memberlakukan tilang manual. Hasil rapat dan kajian ini akan jadi masukan untuk Kapolri.

Jika diilihat dari kepatuhan hukum tambahnya, ada 3 kriteria masyarakat, yang pertama paling rendah ketika ada petugas tetap masih melanggar. Kelompok kedua, ada petugas atau ada etle dia patuh.

“Kelompok ketiga, tidak ada petugas tetap mematuhi, karena kesadarannya yang tinggi. Ini perlu kita treatment, kelompok ketiga secara kasat mata lebih dari 50 persen. Dilihat dari yang melanggar bahu jalan saat tol macet, tidak menggunakan helm dan sebagainya,” tambahnya.

“Melalui rapat dan kajian ini, hasilnya akan memberikan masukan kepada pak Kapolri terkait peraturan larangan tilang. Kita akan tonjolkan pendapat dari pakar dan masyarakat langsung yang memberikan masukan,” tandasnya.

Sementara itu Prof. Tri Tjahjono mengatakan keberadaan ETLE sebuah keniscayaan karena lingkupnya masih kecil dan terbatas. Tidak dapat menangkap pelanggaran secara luas.

“Karena saya mengkritisi ETLE maka tilang manual masih diperlukan. Tilang manual masih efektif, maka ekosistemnya harus dibentuk. Di mana bila ekosistemnya belum dibentuk dan belum berskala nasional, maka tilang manual masih tetap diberlakukan,” kata Prof. Tri Tjahjono.

Senada dengan Prof. Tri Tjahjono, Ki Darmaningtyas mengungkapkan pentingnya tilang manual, publik mengetahui langsung apabila polisi bertindak terhadap pelanggar lalin. Disamping itu dapat menimbulkan shock teraphy bagi pengguna jalan yang lain.

“Tilang manual juga menjaga kewibawaan aparat kepolisian sendiri karena pelanggar ditindak. Pelanggar dikenai langsung hari itu juga sehingga dapat mencegah perbuatan salah lebih lanjut. Bukan berarti menolak perintah Kapolri tapi dijalankan sesuai dengan kesiapannya. ETLE tetap terus dijalankan, namun tilang manual tetap diperlukan,” ungkap Ki Darmaningtyas.

Share :
Berita Terkait